Kamis, 13 Januari 2011

kasus kkn yg menghancurkan jalan bisnis dan politik

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.

Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus baru- baru ini.

Kasus perbankan lain yang cukup menarik perhatian masyarakat adalah LC fiktif yang merugikan Negara sampai 1.7 Triliun, jumlah uang yang cukup fenomental jika dilihat dari jumlah pelaku yang beberapa gelintir saja. Ini lebih besar dari laba bersih setahun yang bisa diraih BNI tahun 2004.

Peraturan yang mengatur bisnis perbankan sudah cukup lengkap. Sebut saja UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Sistem audit baik Internal maupun eksternal juga sudah sedemikian lengkap mengatur pengawasan operasional perbankan. Namun masih saja bisa di cari-cari celah untuk melakukan penyimpangan.

Mengapa para pelaku kejahatan masih saja berani menyimpang dan berbuat curang dalam kegiatan bisnisnya? Jika ditelusur dari sudut pandang etika bisnis, akar dari semua permasalahan praktek KKN yang melanda dunia perbankan saat ini adalah adanya krisis moral yang sudah begitu parah. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis .

Seberapapun kuatnya sanksi yang diberikan tak akan mampu membuat gentar para penjahat. UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.7 Tahun 1992, sudah sedemikian detail mengatur tentang segala definisi pelanggaran perbankan beserta sanksi yang diancamkan. Pasal 49 ayat 1 dengan tegas menyatakan : “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:

a.) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, b.) menghilangkan atau tiidak memasukkan atau menyebabkan ttidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c.) mengubah, atau menghilangkan , menyembunyikan menghapus atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam leporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubahh , mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut; diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima ) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000 (dua ratus miliar ).

Bagi beberapa orang, keberadaan UU serta sanksi hukum yang diancamkan mungkin saja tidak begitu menakutkan. Jika menilik catatan kasus – kasus sebelumnya ,pelaku yang berhasil tertangkap nyata – nyata tidak diproses secara tegas. Sulitnya menguak dan membuktikan tindak kejahatan perbankan yang melibatkan orang dalam juga menjadi kendala tersendiri.

Seberapapun ketatnya pengawasan akan selalu dicari celah-celah untuk bisa berbuat kecurangan demi keuntungan diri sendiri. Sistem audit yang ada baik internal perusahaan maupun ekternal sudah sedemikian ketatnya mengawasi kegiatan perbankan, namun ada saja celah yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mengambil keuntungan.. Petugas auditor juga tidak bisa selamanya 24 jam bisa mengawasi operasional bank. Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku yang sudah berpengalaman operasional untuk melaksanakan aksinya selama bertahun- tahun dan merugikan perusahaan dan negara triliunan rupiah.

Jadi , jika dilihat dari nilai konsep etika bisnis, etika seseorang pelaku bisnis dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika di masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh bukan seorang pelaku bisnis. Jika para pelaku bisnis sudah memiliki bekal etika bawaan sebagai seorang yang berbudi luhur, maka bisa diharapkan dunia bisnis akan di huni oleh orang – orang yang jujur, dan sangat menghargai kepercayaan orang lain yang di berikan kepadanya. Dunia bisnis akan sangat kondusif, tanpa di nodai oleh praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan , antara lain:
1. Rendahnya moralitas para pelaku bisnis perbankan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis.
2. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika dirinya masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar