Minggu, 17 Oktober 2010

Tugas II : Pola hidup Masyarakat

1. Apa perbedaan dari pola hidup masyarakat yang terstratifikasi?..

Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda, tetapi seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa bagian menjadi rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal. Jadi apabila kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara tentang posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.
Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial pada umumnya memiliki orientasi politik, nilai dan budaya, sikap, dan perilaku sosial yang –pada umumnya– sama.
Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan saara transportasi yang dipergunakan, atau bahkan mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya juga berbeda ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya.
Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan relatif sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial. Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun, lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata atau kelas menengah dan atas.
Determinan stratifikasi sosial.
Di dalam dunia kemiliteran, kita biasanya dengan mudah dan cepat membedakan strata anggotanya berdasarkan jenjang kepangkatan yang telah terstruktur dengan jelas. Tetapi, apakah kita juga dengan mudah bisa membedakan strata seseorang di dalam masyarakat yang begitu heterogen?
Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya, apakah kedudukan lebih tinggi dari seorang rektor sebuah universitas atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang artis, apakah lantaran mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi dari dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah yang kita gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu lapisan sosial tertentu?
Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi sosial memang relatif beragam, yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis atau ras, pendidikan formal, pekerjaan, kekuasaan, status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku. Pada masyarakat di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan agama, mungkin sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, laki-laki pada umumnya dipandang lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga mereka dinilai lebih layak menyandang gelar sebagai putra mahkota.
Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia, tetapi diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi (achieved).
Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang semakin modern adalah: dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial), dimensi sosial (status sosial), dan dimensi politik (penguasa dan yang dikuasai/pemimpin dan pengikut). Hal ini sesuai dengan klasifikasi Jeffris dan Ransford (1980), di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan tiga macam stratifikasi sosial, yaitu:
1. Hirarkhi kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa;
2.Hirarkhi kekuasasan, yang didadasarkan pada kekuasaan, dan
3. Hirarkhi status, yang didasarkan pada pembagian kehormatan dan status sosial.
Akumulasi Dimensi.
Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada sejumlah dimensi yang lain. Namun, lepas berapa jumlah dimensi stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati adalah kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya, seseorang yang memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki banyak perusahaan, biasanya ia sebelumnya lahir dari keluarga yang berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang tinggi, dan bahkan didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas. Seseorang yang berpendidikan, misalnya, mestki tidak selalu menjamin, tetapi pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Sebagaimana dinyatakan oleh Beteille, bahwa pendidikan berharga karena memberikan akses untuk jabatan dengan bayaran atau gaji yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059).
Mungkin banyak terjadi di cerita-cerita dan sedikit terjadi dalam kenyataan, cerita-cerita seperti “gareng jadi ratu” atau “seorang penggembala kerbau akhirnya menjadi presiden”.
Dalam realitas, seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau menduduki jabatan tertentu, akan cenderung lebih besar peluangnya untuk meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang miskin, selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak berdaya dan mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Setangkai Bunga Sosiologi (1964), menyatakan bahwa anggota masyarakat yang posisinya tinggi akan cenderung mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan.
Dalam masyarakat yang terstratifikasi, memang salah satu ciri utama yang menandai adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman (1979), meliputi:
1. Modal produktif atas aset (tanah, rumah, peralatan, dan kesehatan)
2. sumber keuangan (pendapatan dan akses kredit)
3. organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersama
4.network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai
5. informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan
Bagi kelas yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih, peluang untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial menjadi lebih besar. Sebaliknya, bagi kelas sosial menengah ke bawah, apalagi miskin, peluang mereka untuk mendapatkan basis kekuatan sosial juga rendah, sehingga peluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal pun menjadi kecil.
Lebih lanjut, dalam kajian ilmu sosial, pengertian stratifikasi sosial tidak sebatas pada pembagian kelas-kelas sosial saja, melainkan juga interaksi atau hubungan timbal-balik antar-kelas. Nah, apa yang terjadi ketika suatu kelas sosial berhubungan timbal-balik dengan kelas sosial lainya, ternyata lebih menunjukkan fenomena yang sifatnya relasional atau interaksional daripada gradual. Kenapa suatu kelompok tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah hal yang sering dipertanyakan ketika kita berbicara mengenai relasi atau hubungan antar-kelas sosial.
Kita sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Dalam konteks hubungan antar-kelas inilah kemiskinan struktural terjadi. Ciri utama kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas vertikal di kalangan lapisan bawah. Kalau toh ada, maka itu akan lamban sekali. Hal ini karena kemiskinan itu terjadi akibat hubungan antar-kelas, bahwa terjadi kungkungan struktur sosial, sehingga yang miskin tetap miskin, dan yang kaya tetap berada pada lingkungannya yang kaya.
Ciri lain kemiskinan struktural adalah adanya ketergantungan dari pihak yang miskin terhadap pihak yang kaya, atau kelas sosial di atasnya. Mohtar Mas’ud (1994: 143) menyatakan bahwa ketergantungan si miskin terhadap kelas sosial di atasnya inilah yang memerosotkan si miskin dalam hal bargaining positionnya, sehingga tetap tidak mempunyai kemampuan tawar terhadap kelas sosial di atasnya.
Konsekuensi stratifikasi sosial.
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan tindakan, tetapi –seperti yang ditulis oleh Horton dan Hunt (1987), juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik.
Apabila dirinci, konsekuensi perbedaan stratifikasi sosial akan terjadi pada
1. Perbedaan gaya hidup
2. Perbedaan peluang hidup dan kesehatan
3. Respons terhadap perubahan
4. Peluang bekerja dan berusaha
5.
Kebahagiaan dan sosialisasi dalam keluarga
6. Perilaku politik

2. Jelaskan teori-teori yang terdapat dalam struktur sosial / masyarakat saat itu. Berikan contohnya masing-masing teori!

Teori Fungsional – Struktural

Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.

Oleh karena itu karena pentingnya pembahasan ini maka kami dari kelompok 2 mengangkat tema ini. Mudah-mudahan dapat bermanfaat.


Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural

Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner ( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri.

Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional – structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.

Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “ patologis “. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan social.

Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.

Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :

1. postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.

2. postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

3. postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan, pen ), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.


Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial

Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis :

  1. pencarian pemuasan psikis
  2. kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
  3. kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
  4. usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.

Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “.

Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung.

Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.

TEORI KONFLIK MENURUT KARL MARX

1. Teori Konflik Karl Marx (1818- 1883)

Teori konflik Karl Marx didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.

Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi.. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.

Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut
terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.


TEORI KONFLIK MENURUT LEWIS A. COSER

1. Teori Konflik Lewis A. Coser

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran katolik pra- Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser (1956: 41) melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara fihak- fihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contohnya Badan perwakilan Mahasiswa atau panitia kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.

Menurut Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:

  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

TEORI KONFLIK MENURUT RALF DAHRENDORF

1. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Teori konflik Ralf Dahrendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx

Pendapat Dahrendorf (1959: 176) dalam buku Sosiologi Kontemporer halaman 136:

Secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah di analisa bila dilihat sebagai pertentangan mengenai ligitimasi hubungan- hubungan kekuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai- nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasannya, sementara kepentingan- kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan- hubungan sosial yang terkandung di dalamnya.

Misalnya kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompok- kelompok kulit hitam, wanita, suku Indian dan Chicanos. Kelompok wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasan di sebagian besar struktur sosial di mana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki- laki., yang kemudian diikuti oleh perkembangan kelompok yang memperjuangkan kebebasan wanita.

TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley. Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol yang lain memberi makna atas simbol tersebut.

Asumsi-asumsi:
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk organisasi.

2.Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.


PELAPISAN SOSIAL /STRATIFIKASI SOSIAL

Pelapisan sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan seseorang/sekelompok orang dibandingkan dengan sseseorang atau sekelompok orang lain dalam masyarakat. Pelapisan sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain ekonomi, politik, sosial.

1. Sistem Pelapisan Sosial

Menurut status kependudukan asli atau pendatang misalnya di daerah Jawa dengan adanya cikal bakal yaitu orang yang merintis tinggal didaerah tersebut dan mempunyi keturunan di daerah tersebut, womg baku yaitu orang yang mempunyai saudara, tanah, dan lahir di daerah tersebut, pendatang yaitu orang yang membeli tanah dan membangun didaerah tersebut. Sedangkan di Sumatra Utara ada yang disebut dengan Sipunta huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek moyang dan penduduk pendatang.

2. Diferensiasi Sosial

Diferensiasi sosial ialah perbedaan sosial dalam masyarakat secara horisontal. Bentuk diferensiasi sosial yaitu diferensiasi jenis kelamin, diferensiasi agama, diferensiasi profesi dsb.


TEORI PERTUKARAN SOSIAL (Social Exchange Theory)


Teori pertukaran sosial ini didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang dapat mencapai suatu pengertian mengenai sifat kompleks dari kelompok dengan mengkaji hubungan di antara dua orang (dyadic relationship). Suatu kelompok dipertimbangkan untuk menjadi sebuah kumpulan dari hubungan antara dua partisipan tersebut.
Perumusan tersebut mengasumsikan bahwa interaksi manusia melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya (cost) dan imbalan (reward) dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk mendapatkan respons dari individu-individu selama berinteraksi sosial. Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok kan diakhiri, atau individu-individu yang terlibat akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apapun yang mereka cari.

Pendekatan pertukaran sosial ini penting karena berusaha menjelaskan fenomena kelompok dalam lingkup konsep-konsep ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan.

Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalahpsikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk kedalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperolehimbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkansuatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosialpun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang salingmempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orangl ain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang salingmempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan(cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melaluiadanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri ataspertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya,pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan – hanya akanlanggeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilakuseseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagidirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.